Parenteam bareng Mertua, Yay or Nay? #jumatcurhat
Beberapa temen sesama ibu baru sering menceritakan komentar-komentar mertuanya, kurang lebih sebagai berikut:
Mertua Teman 1: “Kalian ga mau beliin walker ya? Oma beliin aja ya”.
Mertua Teman 2:“Duuhhh, ini anak kurus amat, aturan tambah sufor aja kali naaak!”.
Mertua Teman 3:“Halah, dulu lo suamimu dua bulan uda Inang kasih makan pisang”.
Padahal Teman 1 tu aliran anti walker. Teman 2 Pejuang ASI garis keras. Teman 3 berpedoman pada MPASI WHO yang mulai MPASI-nya ketika usia 6 bulan. Yaiyalah, mereka nangis nangis bombay sambil curhat.
Temen-temen saya juga sering menyeritakan bahwa orang tua mereka sering melakukan hal-hal yang tidak mereka setujui saat mereka tidak ada. Yang terakhir curhat, bilang kalau bayinya disuapi Gabin (sejenis cracker). Hehehe…. Kalau uda begitu para mantu hanya bisa membatin “Eyyymmm…”. Soalnya kan salah tingkah ya, kalau dijawab, durhaka, kalau ga dijawab, ga sesuai sama keputusan diri ini. MEREKA BEDA PENDAPAT.
Eh, tapi saya pikir-pikir, para mertua ini pun pasti merasakan hal yang sama ya, melihat kelakuan para anak/ menantu dalam mendidik cucu mereka. MEREKA BEDA PENDAPAT. Mungkin kalau ada WA group nenek kakek millenials, mungkin mereka juga bakal nggibahin cara mantu-mantunya ngedidik cucu mereka kali ya. Hihihi…. ngebayangin aja mereka bakal ngomong gini:
Mertua 1: “Masa cucuku umur 5 bulan belum makan dong….. apa kata duniaaa!”
Mertua 2: “Eh mendingan itu Jeng Hepii, anak saya lho, cucu saya baru 6 bulan masa uda dikasi brokoli rebus. Gara-gara itu lo anak artis yang namanya siapa tuh… Nadien?”
Mertua 1: “Nadien yang Putri Indonesia itu, Jeng?”
Mertua 2: “Iyaaa!”
Ahahaha….
Kebayang nggaaaa? Hihihi….
Ngomongin hubungan mertua menantu, apalagi Ibu Mertua dengan Menantu Perempuannya memang nggak ada habisnya. Saya biasanya kalau lagi pada sesi curhat gitu, saya yang paling diem. Soalnya, Mama Mertua saya tipe emak-emak modern yang bisa diajak diskusi. Jadi parenteam bareng beliau memang less drama. Less drama ya, bukan berarti ga ada perbedaan pendapat sama sekali. Oke, saya ceitain deh lengkapnya sebagai berikut.
INHO (In Nyonya’s Humble Opinion)
Parenteam bareng Mertua, Yay or Nay?
Saya Yay!
Idealnya menurut saya, sebaiknya parenting dilakukan hanya oleh kedua orang tua saja, minim dari campur tangan orang lain. Idealnya loh…. Namun, saya pribadi YAY untuk mendidik anak saya bersama dengan Mertua saya. Sekarang berarti kurang lebih sudah 6 bulan Mama Mertua tinggal bersama kami untuk mengasuh Ning Gaya bersama.
Lalu bagaimana rasanya? So far, saya bersyukur Mama Mertua berkenan parenteam dengan kami. Jika teman-teman mempertimbangkan hal yang sama dengan kami, IN MY HUMBLE OPINION, yang harus diusahakan adalah HUBUNGAN BAIK antara Menantu dan Mertua. Kalau nggak ada hubungan baik nantinya bisa jadi masalah di belakang. Bukannya mengasuh bersama malah gontok-gontokan bersama.
Nah, dalam usia pernikahan saya yang masih seumur jagung ini, saya belajar beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menjalin hubungan baik antara Mertua dan Menantu. Bukan berarti saya telah sempurna melakukannya, namun saya yakin hal yang ingin saya sharingkan ini bisa bermanfaat untuk pengingat saya sendiri dan teman-teman juga:
1 . Harus Jujur dan Mau Menerima Satu Sama Lain
Secara pribadi saya mengakui lah, kalau saya ini bukan tipikal menantu idaman. Mama mertua saya pastilah (sebenarnya) bisa punya alasan untuk mencela mantu perempuannya yang satu ini. Berikut saya list ya kekurangan-kekurangan saya:
- Saya tidak piawai melakukan pekerjaan rumah tangga,
- Saya tidak so sweet, tidak pandai bersimpati, pokoknya lempeng gitu,
- Saya tidak peka,
- Saya slebor masalah penampilan.
Di awal-awal hidup bersama, Mama agaknya berharap saya akan masak di rumah. Saya jujur bilang kalau dengan pekerjaan saya yang seperti sekarang, saya memilih untuk katering saja. Waktu yang tersisa lebih baik digunakan untuk bermain dengan bocah atau mengerjakan hoby saja -menulis. Saya jujur, namun saya juga mencoba memahami sudut pandangnya. Hidup sebagai single parent selama puluhan tahun mind set-nya adalah semaksimal mungkin menggunakan uang. Karena saya memahami itu, saya mencoba menjelaskan ke Mama kalau dengan main sama bocah dan menulis, saya juga menghasilkan uang yang ya bisa lah buat bantu-bantu suami bayar katering walaupun ga banyak, banyakan buat jajan sendiri. Hehehe…. Akhirnya Mama paham. Kami tetap katering, namun bonus: di pagi hari dan di weekends Mama masak enaaakkk yeee!
Contoh lain yang menyenangkan itu di poin 4. Masalah penampilan saya. Mama Mertua paling kesel kalau saya berantakan. Sampai sekarang juga masih sih. Tapi biasanya beliau komentar jujur. Nah, di posisi saya sebenarnya bisa baper loh. Tapi saya belajar kebal. Alih-alih baper, saya memanfaatkan keadaan. Pas Mama komen rambut saya kering, rontok di mana-mana, saya minta bantuan beliau untuk ngoles-ngoles minyak zaitun ke kepala saya. Saya senang, bisa perawatan gratis. Mama juga seneng, kan secara ga langsung, saya dengerin usulnya juga. Walaupun usulnya tersebut harus dia pikul juga konsekuensinya, hihihi….
Mungkin masih banyak lagi yang harus ditambahkan dalam list kekurangan saya ini ya, hehehe…. Tapi yang paling fatal memang empat ini. Mama Mertua pun pasti bukan seorang yang sempurna. Namun dalam kelebihan dan kekurangan kami masing-masing, kami mencoba menerima satu dengan yang lain.
2 . Jangan Berharap tapi Mulai Aja Duluan
Di awal pernikahan, saya sudah singkirkan jauh-jauh impian akan hubungan Mertua-Menantu yang semanis madu. Mengapa? Karena kalau sudah berharap tapi kenyataan seperti jauh panggang dari api, itu sakit Jenderal. Mending kaya saya, nggak berharap tapi ternyata yang saya hadapi sekarang itu manis. Saya anggap bonus. Agar yang manis itu dapat terjadi, memang kita sebagai menantu, menurut saya, yang harus menunjukkan itikad baik terlebih dahulu.
Tunjukkan kalau kita sayang padanya. Tunjukkan juga kalau kita sayang sama anaknya. Karena sayang aja ga cukup lo, Nyah. Harus ditunjukkan. :) Syukurlah gayung bersambut, Mama Mertua pun memiliki itikad baik yang sama. Sayangku tak bertepuk sebelah tangan.
3 . Belajar Berteman
Saya termasuk introvert. Mama Mertua juga. Di awal sekali saya punya bayi, saya menghabiskan sebagian besar waktu saya di kamar. Mama Mertua juga, beliau main candy crush. Kami sih baik-baik saja ya. Namanya juga introvert. Tapi apakah ini baik untuk hubungan kami? Kata suami saya tidak. Apalagi untuk mengasuh anak bersama, kami butuh komunikasi. Dan komunikasi itu ga terjadi serta merta, Nyah. Wajib dan kudu dikondisikan.
Momen terawkward saya dan Mama Mertua adalah saat Ning Gaya anak saya masuk perinatologi. Saya dan suami pulang malam, Mama menanti di ruang tamu. Namanya juga introvert. Mama mertua hanya diam, berharap saya bakal curhat habis-habisan. Sementara saya, ibu introvert yang lagi galau karena bayinya harus opname, cuma diam dan ngeloyor langsung masuk kamar. Semuanya hanya diam.
Beberapa hari kemudian, suami saya beperan layaknya mediator. Seperti burung merpati dia menclok ke sana dan ke mari. Intinya, kami berdua akhirnya sadar kalau kami harus sering-sering ngobrol. Biar nggak aneh, kami memulainya dengan nonton tivi bersama. Kalau tidak salah pas itu lagi hot-hotnya film India. Hahaha….
Sekarang? Sekarang mah suami sering bilang kalau Mama malah lebih sering cerita ke saya daripada ke dia. Ya, saya si bersyukur ya, kalau memang Mama Mertua beneran nyaman ngobrol sama saya. *GR
Naaahhh…. kalau ketiga bahasan di atas lebih banyak menyangkut hubungan menantu mertua secara umum, sekarang mulai masuk ke bagian mengasuh bersamanya ya….
4 . Jangan Over Idealis
Sebagai ibu, kelebihan namun sekaligus kekurangan ibu baru ada satu: OVER IDEALIS. Hal ini menurut saya yang paling rentang bikin parenteam antara Menantu dan Mama Mertua bubar jalan. Over idealis itu maksud saya, terlalu strict terhadap sesuatu yang kita percaya based on sesuatu/ sumber yang kita pelajari. Kekeuhhh. Dan menilai apapun di luar idealisme yang kita miliki itu cacat, ga bener, kurang tepat dan lain sebagainya.
Kita, Ibu Baru memiliki sumber ilmu pengetahuan terbaru. Sementara Mama Mertua, hadir dengan kesederhanaan namun juga kredibilitas. Bagaimanapun beliau memiliki pengalaman yang jauh lebih lama dan terbukti. Kalau dua hal ini dibenturkan, apalagi ditambah dengan ego masing-masing, Bhay sudah kerukunan….
Saya mengalami ini pas Ning Gaya mulai MPASI. Hihihi…. Saya pengen banget bisa MPASI homemade versi WHO itu looohhh…. Sementara Mama Mertua, Ibu hasil didikan Seminar Posyandu jaman dahulu kala, yang berpendapat kalau MPASI pertama sebaiknya adalah bubur bayi berfortifikasi (bubur instant pabrikan), karena sudah terukur gizinya dan ada tambahan zat besinya. Kami berdua punya cita-cita yang sama: memberikan yang terbaik bagi Ning Gaya. Namun cara yang kami pandang baik berbeda karena adanya gap pengetahuan.
Related post: Bingung Memilih MPASI, Jangan Lakukan Hal Ini
Saya setengah mati putar otak, bagaimana menjelaskan kepada Mama tanpa harus agresif. Senjata pertama sata adalah rujukan bacaan dari IDAI dan jurnal WHO. Kelebihan Mama Mertua saya ini adalah rajin membaca. Jadi saya pikir jika ada bacaan dari kedua sumber tersebut yang mengatakan bahwa bubur berfortifikasi itu dilarang, pasti Mama akan mengerti. Namun ternyata kedua sumber itu pun tidak anti bubur berfortifikasi, walaupun lebih menyarankan MPASI homemade.
Senjata kedua saya adalah mengajak Mama Mertua ke Dokter Anak. Saya sengaja mengajak Mama karena saya tahu bahwa dokter saya ini adalah konsultan gizi, konselor ASI serta dokter yang pro homemade. Namun ternyata dengan segala embel-embel tersebut pun, beliau tetap tidak anti bubur berfotifikasi. Oke, berarti sayalah yang harus mengubah mindset saya. Mungkin memang bubur berfortifikasi memang tidak seburuk pikiran saya.
Namun, masih ada satu hal yang saya pegang erat-erat. Bubur pabrikan sebaik apapun harus saya minimalisasi karena rasanya tidak natural. Saya tidak mau nanti Ning Gaya jadi pilih-pilih makanan, karena lebih familiar dengan makanan dengan perasa buatan. Oleh karena itu saya tetap berusaha untuk meminimalisasi penggunaan bubur tersebut.
Untuk dapat melakukan harapan saya, ternyata butuh waktu Nyah. Mama berpendapat bayi harus makan bubur berfortifikasi selama setidaknya sebulan sampai usianya 7 bulan. Namun, di minggu pertama saya mulai kasih buah-buahan juga. Sambil cerita keberhasilan teman-teman saya yang “berhasil” MPASI homemade. Pelan-pelan. Saya juga menunjukkan pada Mama Mertua kalau saya bisa membuat bubur MPASI homemade yang bergizi dan juga enak (bayi saya doyan). Perjuangan saya itu berlangsung sekitar dua minggu…. Semakin lama, Mama makin “terpesona” dan memahami bahwa bubur homemade pun bisa kita atur gizinya. Setelah dua minggu penuh perjuangan dan strategi main halus tersebut, Ning Gaya selalu makan MPASI homemade.
Syukurlah…. Doakan semoga saya istiqomah masakin Ning Gaya yaaakkk….
5 . Perjuangkan Kesetaraan
Kesetaraan dalam hal ini adalah saya mau pendapat saya, walaupun minim pengalaman, tetap diperhitungkan karena saya adalah Ibunya. Hal ini saya coba perjuangkan dengan membangun kepercayaan Mama terhadap pola asuh saya, termasuk dalam hal membuat makanan di atas. Memperjuangkan kesetaraan berarti saya juga tetap menghargai Mama, sebagai orang yang berpengalaman sekaligus Nenek dari anak saya. Saya menanamkan sungguh-sungguh dalam pikiran saya bahwa Mama bukan sekedar orang yang membantu saya dan suami mengasuh Ning Gaya. Mama Mertua adalah Neneknya, yang ketika kami memutuskan untuk menerima bantuannya, berarti juga memberikannya hak untuk berpendapat atas pola asuh yang sama-sama akan kami bertiga lakukan.
Jika, temen-temen bertanya lagi pendapat saya tentang parenteam bersama mertua apakah Yay or Nay? Saya tetap akan menjawab Yay! Setidaknya untuk saat ini dan pada kondisi kami yang seperti ini. Mungkin besok atau lusa pertimbangannya akan berbeda, namun saya berharap, semoga perbedaan itu bukan karena hubungan baik yang telah terjalin antara kami itu rusak. :)
Untuk kondisi teman-teman yang mungkin berbeda, saya menghormati pilihan teman-teman…. Sekali lagi artikel ini tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa pilihan saya paling baik ya…. Tentu saja pilihan yang baik adalah pilihan yang kontekstual. Setujuuu? Selamat mempertimbangkan dan memperjuangkan pilihan masing-masing ya Nyaaahhh!!! #proibu #ibudukungibu
Postingan ini dipersembahkan untuk Mbah Uti, Mama Mertua saya yang sering bikin ngiri banyak menantu, yang saat ini sedang sakit. Semoga jadi penyemangat bagi para ibu muda yang juga Parenteam dengan Mertuanya yaaa…. Hubungan baik antara Mertua dan Menantu bukan sesuatu yang mustahil kok….
Selamat ber-parenteam ria! Salam sayang dari kamiiii….
Komentar
Posting Komentar