Gayatri dan Separation Anxiety (9 - 11 Bulan)
“Apaan tuh separation anxiety?”. Saya pertama kali mendengar istilah ini saat ngobrol-ngobrol dengan ibu-ibu muda seangkatan. Saat itu, kami membahas mengapa bocah-bocah kami (waktu itu range usia 7-9 bulan) sering mewek kalau ditinggal emaknya pergi barang sebentar.
Trus seperti biasa saya buka Universitas Google Mandiri. :P Dari web-nya lactamil saya menyimpulkan bahwa separation anxiety itu perasaan sulit berpisah, tak ingin ditinggal (oleh pengasuh utama) yang dialami bayi. Dan hal tersebut memang WAJAR terjadi di usia 7-10 bulan.
Walaupun wajar, tapi saya rasanya agak nyesek kalau lihat Gayatri mewek. Soalnya dia meweknya tu drama gitu. Mukanya memelas…. Kadang sambil keluar ingus, dan sedih gitu. Padahal cuma ditinggal pipis. Ah elaah Ning, masa pipis pun harus diajak terus. Btw, saya kadang memang bawa dia ke toilet si kalau nggak memungkinkan ditinggal. Hehehe.
Drama memuncak ketika Gayatri (usia 10 bulan) masuk daycare.
Related post: Akhirnya Gayatri Masuk Daycare
Walaupun sebenarnya di minggu pertama Gayatri daycare, Gayatri bisa dibilang relatif terkendali nangisnya. Namun entah mengapa minggu kedua pas dianter ke daycare Gayatri mulai nangiiissss yang lebay dong. Merong merong nangisnya. Kata aunty daycare-nya, antara dia memang lagi kangen atau dia niruin temen barunya yang kalau daycare nangis-nangis. Temennya itu antara juga lagi adaptasi sama daycare (anak baru) plus lagi masa sapih.
Kaya gitu berlangsung semingguan lebih. Kalau ditinggal Gayatri nangis bombay. Tapi kalau uda ditinggal, saya pantau dari CCTV dia happy-happy aja…. Pas dijemput, kalau uda denger suara saya dari jauh, uda deh nangisssss again.
Gayatri 11 bulan
Mulai masuk minggu kedua Desember kayanya Gayatri uda mulai bisa mengatasi separation anxiety-nya. Kalau diantar ke depan pintu daycare, dan disambut auntynya…. dia uda mengulurkan tangan minta pindah gendong. Pas saya jemput, dia juga uda bisa ketawa-ketawa menyambut saya.
No more drama.
In frame: CCTV Daycare-nya Gayatri yang bisa dipantau secara online. Gayatri yang pakai baju kuning.
Saya bersyukur banget si, Gayatri bisa adaptasi. Ada beberapa hal si yang saya baca dan saya coba terapkan di masa peralihan antara diasuh di rumah dan daycare ini. Mungkin (((mungkin))) bisa juga diterapkan sama Nyonyah di rumah. Saya nggak tau ini memang ada efek langsungnya, atau hanya kebetulan saja di kasus Gayatri.
1 . Keteraturan.
Teratur jam antarnya, teratur jemputnya. Jadi si bocah pun bisa “niteni” atau ngeh kalau pagi-pagi memang waktunya dia daycare. Dan mengurangi rasa insecurenya, karena dia “niteni” juga kalau nanti sore bakal dijemput lagi.
Mungkin bagi kita yang udah memahami konsep janji dan konsep pulang pergi, masalah ditinggal di suatu tempat itu nggak masalah ya. Tapi buat bocah? Dia belum mengerti kalau Ibunya yang nggak kelihatan itu masih ada apa enggak. Dia belum memahami konsep itu. Yang dia tahu Ibunya tidak ada lagi.
Bayangin aja, kita yang uda dewasa kehilangan Ibu untuk selama-lamanya. Sedih banget kan. Ya, mungkin bagi bayi yang belum memiliki konsep ruang dan waktu, kepergian kita yang sejenak itu seperti selama-lamanya. Nangisnya yang merong-merong itu wajar.
So, jangan pula dibilang, “Cengeng ah!”.
2 . Main cilukba.
Saya pernah membaca artikel yang menyatakan bahwa cilukba dan permainan petak umpet akan membantu anak mengatasi separation anxiety. Disebutkan, hal itu karena dua permainan itu mangajarkan tentang konsep ada dan tiada bagi anak. Percaya tidak percaya, saya si melakukannya. Namun, tentu saja tidak bisa menyimpulkan secara ilmiah, apakah pernyataan ini benar atau tidak. :)
3 . Ibu harus menenangkan diri.
Kata mama mertua dulu, anak dan ibu itu punya ikatan feeling yang so strong. Jadi kalau Ibu baper, anaknya juga bisa ikutan galau jarak jauh. Semacam telepati gitu kali yak, percaya ga percaya. Oleh karena itu, kalau saya pengen Gayatri happy di daycare, saya juga harus belajar mengendalikan perasaan saya sendiri.
Yang paling susah tu mengurangi rasa bersalah sik. Kalau inget gimana tu bocah berurai air mata, tu langsung merasa jadi ibu yang kejam, jahat dan tegaan. Masa anak sekecil itu dititip titipin orang.
Related post: Menghadapi Rasa Bersalah Ibu Bekerja
Tapi masalah nitip menitip anak itu bukan masalah jahat atau baik. Ini hanyalah masalah manajemen keluarga. Dan tiap orang tua pasti (saya yakin) telah mempertimbangkan opsi-opsi yang terbaik bagi semua. Percayalah drama pasti berlalu.
4 . Ngobrol dan ritual perpisahan itu wajib.
Agak susah si ya, memahami apakah bocah memahami yang kita omongkan atau tidak. Tapi setiap pagi kalau mau berangkat saya ngomong aja. Ngomong mau pergi kemana, nanti Gayatri main di sana happy happy sampai dijemput lagi sore. Ngomongnya dengan suara tenang dan percaya diri.
Kenapa harus percaya diri? Supaya terdengar meyakinkan. Hehehe…. Saya yakin si Si Ening belum bisa memahami kata per kata. Tapi mungkin memahami intonasi. Kalau kita terdengar gentar, saya yakin itu juga nular. Hehehe.
Kalau terkait ritual perpisahan yang kami lakukan ya paling ngobrol itu, kemudian peluk Ibu, Aunty daycare akan mengulurkan tangan kemudian Gaya akan mengulurkan tangan balik menuju Aunty, mereka berpelukan, trus Gayatri akan dadah dadah pada saya. Biasanya juga, saya akan tetap diam di pintu, dan Gayatrilah yang akan pergi (digendong) sambil dadah dadah. Bukan sebaliknya.
Haram hukumnya bagi saya untuk meninggalkannya diam-diam.
In frame: Saya sebelum ngantor, ngantar Ning Gaya daycare dulu….
5 . Kerjasama dengan pihak Daycare.
Satu yang saya suka dari Daycare Gayatri adalah pengurus (saya biasa memanggilnya Aunty) enak banget diajak ngobrol. Termasuk juga ngobrol tentang kebiasaan Gayatri di rumah dan bagaimana biasanya kami menyikapinya. Dengan demikian, pihak daycare juga bisa memahami perilaku Gayatri. Nggak salah interpretasi gitu, dan penanganannya juga pas. Sehingga mempercepat adaptasi Gayatri juga.
6 . Jangan berlama-lama, jangan pula dipaksa.
Ini maksudnya pas perpisahan, jangan dibiasakan berlama-lama. Kaya tawar menawar gitu. Soalnya sebagai Ibu pasti akan meleleh perasaannya kalau melihat anak nangis. Dan anak sekecil itupun menurut saya uda paham yak, jangan sampai air matanya itu jadi senjata untuk menawar keputusan kita.
Saat ini saya melihat, Gayatri mulai mengembangkan kemampuannya untuk percaya diri dan percaya pada pengasuhnya. Kadang jadi agak baper juga si. Kadang jadi mikir,” Ini bocah mulai mandiri apa mulai nggak butuh saya yak”. Hehehe….
***
Di akhir artikel ini, saya ingin menyatakan bahwa saya bukanlah psikolog atau ahli tumbuh kembang yaaak. Hehehe…. Sebagai orang awam, banyak sekali hal-hal yang baru pertama saya alami bersama Gayatri yang kadang bikin saya amazed ataupun surprised. Saya yakin Nyonyah (terutama yang baru punya anak satu) pun mengalami hal yang sama. Feel free untuk share pengalamannya di comment section ya….
Saya senang sekali, Nyonyah sudah berkunjung. Semoga sharing kali ini bermanfaat. Salam sayang selalu….
Komentar
Posting Komentar