Tolong! #nyonyapunyacerita
“Mbak, tolong mbak…. Saya kecopetan tadi di bus. Saya nggak punya ongkos pulang. Boleh tidak saya pinjam uangnya, nanti saya transfer pas sudah sampai di rumah?”. Jika ada orang asing di tempat umum menyambangi teman-teman dan mengatakan hal tadi, apa respon teman-teman?
Kasihan? Ya, kalau memang beneran memelas, kitanya pasti kasihan ya. Tapi pernahkah terlintas curiga? Kalau saya si iyes. CURIGATION. Soalnya sudah dua kali kejadian ketipu karena rasa kasihan. Dua-duanya sama anak kecil lagi. Pada kesempatan yang berbeda, anak kecil meminta-minta pada saya, namun dengan kebohongan. Huft. Kesel banget ketika kebohongan itu ketahuan.
Masalah ditipu karena belas kasihan juga pernah dialami oleh teman saya, Tetty.
Ceritanya bisa dibaca di: #NyonyaPunyaCerita: Susahnya Jadi Orang Baik
“Kalau ada yang minta-minta sama saya lagi seperti itu, apa yang harus saya lakukan?,” tanya saya pada senior kuliah saya saat itu. Namanya Kak Flo. Jawabnya, “Ikuti kata hati”.
Buset, jawabannya dalem banget. Dengerin kata hati. Kayak ngedengerin kata hati itu gampang aja. LOL. Mana hati saya kadang bekerjanya tidak proper. Hehehe….
“Dengarkan kata hati, karena di situ akar kemanusiaan”.
Tapi lama sudah setelah kejadian itu, saya tidak pernah mengalami ditipu karena belas kasihan lagi. Setelah kurang lebih 1o tahun berlalu saya mengalami hal yang berkaitan. Namun, posisinya saya sebagai pihak yang meminta pertolongan.
Ya, singkat cerita, saya kehilangan uang saat perjalanan dari Kantor Pusat di daerah Purnawarman menuju kantor saya di Bintaro. Posisi saya naik transjakarta dan kendaraan saya parkir di sebuah universitas.
Yang menjadi masalah adalah, untuk pulang saya harus bayar parkir. Hanya dua ribu perak. Sayangnya saya tak ada uang sepeser pun.
Setelah sempat stuck dan bengong cukup lama, saya mencoba mendekati seorang mahasiswa. Menawari barter cash dengan transfer pulsa. Namun, dia tak bergeming. Memandang saya sejenak untuk menjawab pun tidak. Dia ngeloyor pergi.
Potek hati kakak, Dik. Sudah malu merasa mengemis ngemis. Zonk pula.
Tapi saat itu saya sadar juga. Mungkin si Adek kawatir dihipnotis. Curiga saya adalah penipu yang berkedok minta belas kasihan. Kekawatiran dan kecurigaan yang sama yang pernah saya rasakan. Dan pun masih ada dalam diri saya.
Saya pengen nangis, saat itu. Belum pernah ngerasa sehopeless itu. Tapi sekaligus saya merasa keji dan tidak berperikemanusiaan karena pernah menyimpan kejawatiran dan kecurigaan yang sama.
Ya walaupun ngasih uang ke pengemis itu dilarang Perda, namun menolong orang bukankah naluri seorang manusia? Jika memungkinkan bukankah bisa dengan cara lain. Atau dengan cara yang sopan setidaknya.
Saya chat suami, seperti biasa, mengadu. Suami bersabda supaya saya pulang naik gojek saja. Kendaraan biar besok dia yang ambil.
Tapi saya jadi nggak tega.
Dengan sedikit semangat, saya mencoba mengelilingi kampus dengan menunduk. Siapa tahu ada beberapa keping recehan seribu apa limaratusan yang bisa saya pungut dan kumpulkan.
Dua kali saya nemu recehan. Naasnya, yang ketemu cuma cepekan.
Hari semakin sore, saya makin pengen cepat pulang. Akhirnya saya beranikan diri lagi untuk meminta pertolongan orang lain. Berat rasanya lo, minta tolong pada orang tak dikenal.
Ada rasa sungkan. Ada rasa takut ditolak. Ada rasa malu. Ada rasa gengsi.
Sungguh manusia macam apa ya saya ini. Sudah butuh, gengsi pula.
Saya masuk ke bangunan kecil tempat Unit Kegiatan Mahasiswa. Ada satu mahasiswa sedang duduk. Saya sampaikan kesulitan saya, dan juga menawarkan untuk bertukar cash dengan pulsa.
Namanya Wahyu. Dia menolak. Menolak untuk ditukar pulsa, namun mengulurkan selembar dua ribuan. Ongkos parkir.
Saya terharu saat dia pun menawari untuk mengantar ke pos parkir, takut tarifnya lebih. Namun saya tolak karena tahu pasti tarifnya hanya segitu. Terimakasih sekali, bantuanmu sudah lebih dari cukup.
Entah mengapa kejadian meminta tolong dan diberi pertolongan oleh sesama manusia tadi benar-benar berkesan di hati saya. Saya jadi percaya kalau manusia masih bisa saling mempercayai.
Faith in humanity.
Teringat kembali pesan Kakak Senior, “Ikuti kata hati, karena disanalah akar kemanusiaan”. Jangan tutupi dengan kecurigaan. Jangan pula dengan kekawatiran. Mungkin tugas kita menolong, semampu apa yang bisa kita lakukan.
Tanpa pretensi, tanpa tendensi.
Salam sayang!
Komentar
Posting Komentar